Rabu, 07 Januari 2009

PRIORITAS PADA PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU DAN BAYI

dikutip dari:www.tenaga-kesehatan.or.id
Angka kematian ibu dan angka kematian bayi di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara. Karenanya, hal itu menjadi kegiatan prioritas Departemen Kesehatan pada periode 2005-2009. Prioritas lain adalah pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin; penanggulangan penyakit menular, gizi buruk, dan krisis kesehatan akibat bencana; serta peningkatan pelayanan kesehatan di daerah terpencil, tertinggal, dan daerah perbatasan serta pulau-pulau terluar. Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2002-2003, angka kematian ibu (AKI) di Indonesia adalah 307 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan angka kematian bayi (AKB) tercatat 35 per 1.000 kelahiran hidup. Depkes menargetkan pada tahun 2009 AKI menjadi 226 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 26 per 1.000 kelahiran hidup. Gizi kurang Pada tahun yang sama prevalensi gizi kurang pada anak balita akan diturunkan dari 25,8 persen menjadi 20 persen dan umur harapan hidup dinaikkan dari 66,2 tahun menjadi 70,6 tahun (Tabel). Menurut Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Depkes Sri Astuti S Suparmanto, ada empat strategi utama Depkes dalam pembangunan kesehatan. Keempat strategi itu adalah menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat; meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas; meningkatkan sistem surveilans, pemantauan, dan informasi kesehatan; serta meningkatkan pembiayaan kesehatan. Ada 17 sasaran dari strategi untuk mendukung pencapaian prioritas. Hal itu antara lain seluruh desa menjadi desa siaga; setiap orang miskin mendapat pelayanan kesehatan yang bermutu; setiap bayi, anak, ibu hamil, dan kelompok masyarakat risiko tinggi terlindungi dari penyakit; serta di setiap desa tersedia tenaga kesehatan yang kompeten. Pembentukan desa siaga untuk menunjang upaya penurunan AKI dan AKB serta mengatasi permasalahan kesehatan lain. Hal ini dilakukan dengan menempatkan bidan dan melatih para kader dari masyarakat. Saat ini sedang dilakukan inventarisasi desa-desa mana yang ada dan tidak ada bidan. Depkes akan merekrut dan menempatkan bidan di desa yang tidak ada bidan. Tahun 2006 sudah dibentuk 12.000 desa siaga. Tahun 2007 ditargetkan terbentuk 30.000 desa siaga, tahun 2008 bertambah 16.000 desa siaga, dan tahun 2009 ada 12.000 desa siaga. Keterbatasan tenaga Kesulitan untuk mencapai sasaran, misalnya, penurunan AKI adalah keterbatasan tenaga dan infrastruktur. Misalnya, di daerah terpencil, seperti Papua, ibu yang hendak melahirkan dan mempunyai penyulit tidak bisa cepat sampai ke sarana pelayanan kesehatan karena kesulitan transportasi. Depkes mengusulkan pengadaan rumah tunggu di dekat rumah sakit untuk menampung ibu hamil dengan risiko tinggi sejak usia kehamilan 36 minggu. Sebuah lembaga swadaya masyarakat di Papua telah membuat rumah tunggu di Nabire dan Timika. Model ini diadopsi Depkes untuk daerah lain. Menurut Dr dr Mardiati Nadjib Msc dari Jurusan Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI), perilaku dan kondisi lingkungan merupakan faktor utama penyebab masalah kesehatan, baru kemudian faktor pelayanan kesehatan. Karena itu perlu ada upaya serius untuk mengubah perilaku dan budaya masyarakat. Contohnya, AKI akan sulit turun kalau budaya dan perilaku tidak berubah. Meski sudah ada bidan di desa dan asuransi kesehatan untuk masyarakat miskin (askeskin), pemanfaatannya bergantung pada banyak faktor. Hasil penelitian Immpact FKM-UI di Serang dan Pandeglang menunjukkan, saat askeskin diterapkan tahun 2005, pembayaran persalinan dengan askeskin hanya mencakup 10,07 persen responden. Tahun sebelumnya pembayaran yang ditanggung JPSBK atau PKPS-BBM hanya mencakup 10,52 persen responden. "Banyak ibu memeriksakan kehamilan ke bidan, tetapi ketika melahirkan kembali ke dukun," tutur Mardiati. Meski demikian, lanjut dia, di tingkat institusi pelayanan, askeskin sangat membantu masyarakat. Hal ini terbukti dari besarnya beban biaya kasus nyaris mati di rumah sakit yang ditanggung askeskin. Mardiati melihat persoalan klasik pembiayaan kesehatan masih ada di banyak daerah. Untuk program-program prioritas, dana berasal dari pemerintah pusat (sebagian besar dari donor). Di era desentralisasi, pemerintah daerah ikut berperan, tetapi bentuknya dana gaji pegawai. Alasannya, dana terbatas. Akibatnya, meski umumnya dinas kesehatan pandai membuat rencana strategis, menetapkan target hasil (outcome), serta menghitung anggaran, mereka cenderung pasrah jika dana yang dianggarkan jauh dari mencukupi untuk mengejar target outcome. "Hasil studi pembiayaan TB menunjukkan rendahnya kontribusi pemerintah daerah dalam pembiayaan program prioritas, meski di renstra (rencana strategis)-nya tertulis jelas apa saja yang menjadi prioritas. Daerah kaya, seperti Kaltim, ternyata mengalokasikan dana tidak lebih besar dibandingkan dengan daerah lain yang kemampuan fiskalnya lebih rendah," papar Mardiati. (Atika Walujani Moedjiono) Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0705/05/Fokus/3504261.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar